CSE

Loading

Rabu, 15 Januari 2014


MELENGKAPI  PRAKTEK  KOMPUTER MICROSOFT POWER POINT

Karena kekurangan waktu saat melaksanakan UAS Komputer Dasar,saya memposting tugas Microsoft Powerpoint untuk melengkapi kekurangan tugas UAS Komputer Dasar yang di laksanakan pada hari Rabu tanggal 8 Januari 2014

Untuk mendapatkan File lengkapnya, silahkan klik disini

Selasa, 14 Januari 2014


KIAT SEDERHANA TANGKAL RADIKAL BEBAS

Dalam dua dasawarsa terakhir, pemahaman mengenai mekanisme gangguan kesehatan berkembang, terutama yang berhubungan dengan penyakit degeneratif.  Maka pemahaman seputar radikal bebas dan antioksidan pun berkembang lebih luas.

Proses metabolisme tubuh selalu diiringi pembentukan radikal bebas, yakni molekul-molekul yang sangat reaktif.  Molekul-molekul tersebut memasuki sel dan “meloncat-loncat” di dalamnya.  Mencari, lalu “mencuri” satu elektron dari molekul lain untuk dijadikan pasangan. Pembentukan radikal bebas dalam tubuh pada hakikatnya adalah suatu kejadian normal, bahkan terbentuk secara kontinyu karena dibutuhkan untuk proses tertentu, di antaranya oksidasi lipida.

Tanpa produksi radikal bebas, kehidupan tidaklah mungkin terjadi.  Radikal bebas berperan penting pada ketahanan terhadap jasad renik.  Dalam hati dibentuk radikal bebas secara enzimatis dengan maksud memanfaatkan toksisitasnya untuk merombak obat-obatan dan zat-zat asing yang beracun.

Namun pembentukan radikal bebas yang berlebihan malah menjadi bumerang bagi sel tubuh, karena sifatnya yang aktif mencari satu elektron untuk dijadikan pasangan.  Dalam pencariannya, membran sel dijebol dan inti sel dicederai.  Aksi ini dapat mempercepat proses penuaan jaringan, cacat DNA serta pembentukan sel-sel tumor. Radikal bebas juga “dituding” dalam proses pengendapan kolesterol LDL pada dinding pembuluh darah (aterosklerosis)

Tubuh memerlukan bala bantuan untuk mengendalikan jumlah radikal bebas yang melampaui kebutuhan itu, yaitu antioksidan yang sebenarnya sudah terbentuk secara alamiah oleh tubuh.  Berdasarkan sifatnya, antioksidan mudah dioksidasi (menyerahkan elektron), sehingga radikal bebas tak lagi aktif mencari pasangan elektronnya.

Unsur antioksidan yang terpenting adalah yang berasal dari vitamin C, E dan A serta enzim alamiah. Demi memenuhi tuntunan itu, berbagai upaya dilakukan, misalnya dengan mengonsumsi lebih banyak buah dan sayur yang kaya akan vitamin dan mineral tertentu.  Ada pula yang menempuh cara lebih praktis, yaitu mengonsumsi suplemen, baik yang berbahan dasar alami maupun yang sintetis.

Belum banyak yang memahami benar seberapa banyak kebutuhan tubuh kita akan vitamin A, C dan E yang dikelompokkan sebagai antioksidan.  Sebagai contoh masih terdapat perbedaan pendapat tentang  dosis vitamin C  yang perlu dikonsumsi setiap hari.  Sebagian pakar merekomendasikan cukup 60–70 mg, dengan alasan cukup untuk kebutuhan setiap hari.  Jika mengonsumsi berlebih akan terbuang dalam urin. Sedangkan yang lain menganjurkannya 500–1.000 mg agar Vitamin C bukan sekedar memenuhi kebutuhan tubuh untuk stimulasi proses metabolisme, tetapi benar-benar dapat berfungsi sebagai antioksidan.

Beberapa pakar nutrisi berpendapat, bahwa kecukupan antioksidan dapat diperoleh dengan cara  menjaga pola makan  bergizi seimbang.  Namun, pada kenyatannya tidak banyak yang dapat melakukannya setiap hari.  Sebagai contoh, bagi kalangan berpendapatan kelas menengah-bawah buah-buahan yang dijual pada umumnya relatif mahal, sehingga kebutuhan akan vitamin yang tergolong anti oksidan menjadi berkurang.  Mereka berpendapat dapat digantikan dengan suplemen yang lebih murah. Namun keunggulan suplemen ini tetap kalah jika dibandingkan dengan makanan alami, karena pada yang alami terdapat vito chemicals, yaitu sekumpulan bahan-bahankimia yang mempunyai fungsi belum diketahui secara rinci.

Ada pula yang berpendapat, dalam mengonsumsi suplemen, mengambil dosis yang moderat, artinya tidak menggunakan vitamin dengan dosis terlalu tinggi, contohnya 500 mg Vitamin C setiap hari.  Penggunaan dosis tinggi dianggap tidak baik bagi kesehatan, apalagi digunakan dalam jangka panjang. “Beberapa studi menunjukkan, dosis terlalu tinggi mengubah sifat antioksidan menjadi prooksidan,” peringatan dr Benny Soegianto, MPH. (alm) dalam sebuah wawancara dengan reporter majalah kesehatan tujuh tahun silam.  Kendatipun demikian sampai saat ini masih banyak konsumen yang tergoda untuk rutin memakai dosis tinggi karena terbuai janji khasiatnya sebagai penghambat proses penuaan.

Tubuh kita sendiri, lanjut dr Benny seringkali mampu memberikan sinyal kekuranganvitamin
tertentu.  Sebagai contoh, jika Vitamin B dan C dalam kurun waktu tertentu tidak cukup dikonsumsi dan tubuh sedang bekerja keras, maka akan timbul sariawan dan tubuh akan terasa pegal.  Oleh karenanya kecukupan kedua macam vitamin tersebut perlu dijaga dengan cara–suka tidak suka- mengonsumsi buah segar setiap hari dalam porsi yang memadai.
Jika ingin mendapatkan informasi lebih lanjut tentang radikal bebas, bisa mengklik kata yang bergaris bawah di atas dan dapat mengklik link di bawah ini :



 
-          Enzimatis yang berperan di hati
-          Radikal bebas dan antioksidan

 

 
 
 

MELENGKAPI  PRAKTEK  KOMPUTER MICROSOFT WORD

Karena kekurangan waktu saat melaksanakan UAS Komputer Dasar,saya memposting tugas Microsoft Word untuk melengkapi kekurangan tugas UAS Komputer Dasar yang di laksanakan pada hari Rabu tanggal 8 Januari 2014.


Untuk mendapatkan File lengkapnya, silahkan klik disini

 

MELENGKAPI  PRAKTEK  KOMPUTER MICROSOFT EXCEL

Karena kekurangan waktu saat melaksanakan UAS Komputer Dasar,saya memposting tugas Microsoft Excel untuk melengkapi tugas UAS Komputer Dasar yang di laksanakan pada hari Rabu tanggal 8 Januari 2014.


Untuk mendapatkan File lengkapnya, silahkan klik disini

Selasa, 07 Januari 2014


Metals and Neurotoxicology

Metals are ubiquitous and play a critical role in neurobiology. Transition metals are important because they alter the redox state of the physical environment. Biologically, transition metals catalyze redox reactions that are critical to cellular res-piration, chemical detoxification, metabolism, and even neurotransmitter synthesis. Many metals are both nutrients and neurotoxicants, such as iron, zinc, copper, and manganese. Other metals, such as lead and cadmium, are metabolized similarly to these metals, particularly iron. Iron metabolism and genes that regulate iron metabolism may be the key to understanding metal toxicity. Finally, recent evidence demonstrates that early life exposures may program later life and adult disease phenotypes via processes of epigenetics. Parallel work in metals demonstrates that epigenetics may be a critical pathway by which metals produce health effects. J. Nutr. 137: 2809–2813, 2007.

The biological effects of metals are linked to their chemical prop-erties. Transition metals (such as Cu, Fe, and Mn) are particularly adept at catalyzing redox reactions within biological systems. Zn is a nutrient metal that in high dosage can paradoxically promote oxidative toxicity. Heavy metals (Pb, Cd) and metal-loids (As) can also induce oxidative toxicity but more likely work by binding to proteins and interfering with metal transport and protein function. Although Pb and methylmercury neuro-toxicity is well established, the effects of other metals on brain development have only recently drawn attention. Unfortunately, it appears that excess metal exposure may be a common source. of neurotoxicity in multiple populations around the world. Although metals have multiple effects on biological systems, an understudied effect is their role in programming gene ex-pression. A growing body of evidence suggests that metals may influence epigenetic phenomena which regulate the expression of genes and ultimately their protein products. In this article, we focus on the neurotoxic properties of metals and their ability to mimic the pathways of Fe metabolism. In addition, we review the data on the effects of metals on DNA methylation and discuss how these properties might explain fetal origins of adult disease.

untuk mendapatkan data lengkapnya, silahkan download disini

Belgrade Rats Display Liver Iron Loading

Patients with mutations in divalent metal transporter-1 (DMT1), an intestinal nonheme iron transporter, suffer from microcytic anemia and hepatic iron loading. DMT1 is also mutated in Belgrade rats, an animal model with a thalassemic-like disorder of microcytic anemia with hyperferrinemia. However, aspects of hepatic iron loading in this genetic model are not well characterized. To more fully define the Belgrade rat’s iron status, we compared the characteristics of homozygous (b/b) and heterozygous (b/1) rats fed an iron-supplemented diet for 3 wk postweaning. Dietary supplementation with ferrous iron improved the anemia of b/brats insofar as hematocrits increased from 0.13 (21-d–old) to 0.31 (42-d–old). However, hematocrits remained significantly lower than those of age-matchedb/1rats (0.36 and 0.41 in 21- and 42-d–old heterozygotes, respectively,P,0.05). Wright’s staining ofb/bred cells confirmed the hypochromic microcytic nature of Belgrade rats’ anemia. The liver iron concentration of 42-d–oldb/brats was greater than in age-matchedb/1rats (5.97 vs. 2.24mmol/g,P,0.05). Whereas Perls’ Prussian blue iron staining was evident in both periportal and centrilobular regions in 42-d–old b/bliver sections, no staining was observed in age-matched b/1tissue sections. Quantitative real-time PCR analysis showed that expression of liver hepcidin mRNA in 42-d–oldb/brats was 3-fold greater than age-matchedb/1rats. These results indicate that, similar to human patients with DMT1 mutations, Belgrade rats also display hepatic iron loading. Our data suggest this condition arises from ineffective erythropoiesis. J. Nutr. 136: 3010–3014, 2006.
untuk mendapatkan data lengkapnya, silahkan download disini

Iron-Deficiency Anemia: Reexamining the Nature and

Magnitude of the Public Health Problem

An extensive literature review was conducted to identify whether iron deficiency, iron-deficiency anemia and anemia from any cause are causally related to low birth weight, preterm birth or perinatal mortality. Strong evidence exists for an association between maternal hemoglobin concentration and birth weight as well as between maternal hemoglobin concentration and preterm birth. It was not possible to determine how much of this association is attributable to iron-deficiency anemia in particular. Minimal values for both low birth weight and preterm birth occurred at maternal hemoglobin concentrations below the current cut-off value for anemia during pregnancy (110 g/L) in a number of studies, particularly those in which maternal hemoglobin values were not controlled for the duration of gestation. Supplementation of anemic or nonanemic pregnant women with iron, folic acid or both does not appear to increase either birth weight or the duration of gestation. However, these studies must be interpreted cautiously because most are subject to a bias toward false-negative findings. Thus, although there may be other reasons to offer women supplemental iron during pregnancy, the currently available evidence from studies with designs appropriate to establish a causal relationship is insufficient to support or reject this practice for the specific purposes of raising birth weight or lowering the rate of preterm birth. J. Nutr. 131:590S– 603S, 2001.
 
untuk mendapatkan data lengkapnya, silahkan download disini

 



PENYULUHAN KESEHATAN GIZI DAN PENCEGAHAN PENYAKIT PADA MASYARAKAT DESA CISITU KECAMATAN CISITU KABUPATEN SUMEDANG

1. Masalah Gizi di Indonesia

Sampai sekarang masalah gizi di Indonesia masih menjadi masalah. Terutama berkaitan dengan gizi kurang dan gizi buruk baik pada balita maupun pada orang dewasa. Pada orang dewasa, gizi kurang dan gizi buruk terdapat pada wanita hamil dan menyusui serta yang berpenghasilan rendah. Kekurangan gizi ini terkait dengan kekurangan : a) kalori dan protein, b) kekurangan vitamin, c) gondok endemik, dan d) anemia gizi. (Depkes, 1990).

 Pada saat ini, sebagian besar atau 50% penduduk Indonesia dapat dikatakan tidak sakit akan tetapi juga tidak sehat, umumnya disebut kekurangan gizi (Atmarita, 2004). Kejadian kekurangan gizi sering terluputkan dari penglihatan atau pengamatan biasa, akan tetapi secara perlahan berdampak pada tingginya angka kematian ibu, angka kematian bayi, angka kematian balita, serta rendahnya umur harapan hidup.

2. Makanan Sehat

Ilmu gizi adalah pengetahuan tentang makanan dalam hubungannya dengan kesehatan atau pengetahuan tentang cara memberikan makanan dengan benar, agar tubuh berada keadaan sehat yang sebaik-baiknya. Semua zat gizi dalam badan adalah penting dan harus terdapat dalam makanan sehari-hari. Tidak satupun bahan makanan yang mengandung zat gizi secara lengkap dalam jumlah cukup besar untuk memenuhi kebutuhan badan. Beberapa bahan makanan mengandung banyak protein dan sedikit hidrat arang, yang disebut sumber protein. Beberapa makanan lain banyak mengandung vitamin tetapi sedikit mengandung protein, sumber makanan demikian merupakan makanan sumber vitamin.

3. Kandungan Zat Gizi

Kebutuhan akan zat gizi mutlak dibutuhkan tubuh manusia agar dapat melaksanakan fungsi normalnya. Dalam menentukan besarnya zat gizi harus dimulai dengan menentukan besarnya kebutuhan energi. Menu yang disusun berdasarkan kecukupan energi dan zat gizi penghasil energi seimbang serta dibuat dari bahan makanan yang memenuhi kriteria empat sehat lima sempurna. Pada umumnya mengandung vitamin dan mineral sesuai dengan kebutuhan.

4. Penyakit dan Gizi

Ada beberapa penyakit yang terkait langsung dengan kekurangan gizi ini, yaitu : gondok endemik, diare, kekurangan vitamin (avitaminosis), dan anemia gizi (Depkes, 1990)

a)      Gondok endemik, yaitu pem-besaran kelenjar tyroid akibat kekurangan unsur yodium yang diperlukan untuk pembentukan hormon tyroid dalam waktu lama.

b)      Kekurangan vitamin, menderita salah satu penyakit akibat kekurangan salah satu vitamin.    Misalnya kekurangan vitamin A bisa mengakibatkan buta senja, anemia, atau mudah terkena diare.

c)      Anemia gizi adalah keadaan zat merah darah atau Hb lebih rendah dari normal.  Akibat     kekurangan zat gizi yang diperlukan.
untuk mendapatkan data lengkapnya, silahkan download disini
 

HUBUNGAN ANTARA ASUPAN ENERGI DENGAN STATUS GIZI ANAK KELAS IV DAN V SEKOLAH DASAR

 DI KELURAHAN MAASING KECAMATAN TUMINTING
 

Banyak penelitian dilaporkan bahwa pada usia ini kebanyakan anak hanya mengkonsumsi satu jenis makanan saja selama beberapa minggu. Bergesernya pola konsumsi tradisional ke pola konsumsi modern saat ini membuat para anak lebih memilih makanan yang mengandung lemak dan gula yang tinggi serta kurang serat, menyebabkan konsumsi energi lebih dari angka kecukupan gizi yang dianjurkan untuk umur mereka. Penelitian ini bertujuan untuk  hubungan antara asupan energi dengan status gizi anak kelas 4 dan 5 SD di Kelurahan Maasing. Penelitian ini bersifat observasional analitik dengan pendekatan  cross sectional,  dilaksanakan pada bulan Januari-Mei 2013. Populasi anak kelas 4 dan 5 SD yang berjumlah 85 anak. Jumlah sampel penelitian 61 anak yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Pengambilan data dilakukan dengan wawancara, pengukuran tinggi dan berat badan, wawancara untuk kuesioner  food recall.  Analisis data menggunakan uji Spearman Rank dengan bantuan aplikasi SPSS pada α = 0,05. Hasil uji menunjukan tidak ada hubungan antara asupan energi dengan status gizi BB/U (p=0,913) dan hasil uji juga menunjukan bahwa tidak ada hubungan antara asupann dengan status gizi BB/TB (p=0,623). Sesuai dengan hasil penelitian, maka peneliti menyarankan perlunya pemantauan status gizi secara rutin di setiap sekolah yang ada di Kelurahan Maasing.

 untuk mendapatkan data lengkapnya, silahkan download disini

 

Senin, 06 Januari 2014


Studies on Nutritional Factors in Mammalian Development

It is a special pleasure for me today to be able to contribute some small part to the honoring of my professor, Dr. Agnes Fay Morgan, who has had a most impor tant influence on my life and continues to be a source of inspiration. Much of the work I shall discuss saw its beginnings in the investigations of distinguished researchers who are present today, both as speakers and as members of the audience. This example of the continuity of our science provides a fitting tribute to our guest of honor and to her dedication to the future of nutrition research. My subject, the role of nutritional factors in mammalian embryonic development, fits appropriately in the context of the theme of this symposium, because it is during the time-span being discussed today that research on this subject began. Systematic studies of the influence of nutrition on the prenatal development of mammals can be said to have begun with the observations of Hale about 1935 .  Before this time, a considerable number of experiments had been carried out with avian and amphibian eggs, and it was recognized that environmental factors could influence the development of these embryos. Yet even in these species, little thought was given to the role of nutrition in embryonic development, and as far as mammalian embryos were concerned, genetics claimed the day.
untuk mendapatkan data lengkapnya, silahkan download disini

History of Nutritional Immunology:

Introduction and Overview


Nutritional immunology, or immunonutrition, is a newly recognized scientific subdiscipline interrelating  the seemingly disparate fields of immunology and nutrition. But despite their apparent independence, myriad observations, some quite old and some quite new, clearly show that the immune system cannot function optimally if malnutrition is present. Malnutrition also produces adverse effects on antigenically nonspecific mechanisms of host defense. The clinical and public health importance of nutritional immunology is also receiving attention. Immune system dysfunctions that result from malnutrition are, in fact, Nutritionally Acquired Immune Deficiency Syndromes (NAIDS). NAIDS afflicts millions of people in the Third World, as well as thousands in modern centers, i.e., patients with cachexia secondary to serious disease, neoplasia or trauma. As estimated during the 1990 World  Summit for Children at the United Nations, attended by President George Bush and more than 50 other heads of state, 40,000 deaths occur each day worldwide in children under the age of five. Because malnutrition is the common denominator in most of these deaths, it must be assumed that NAIDS is playing its deadly role. On the brighter side, however, and unlike the much more highly publicized acquired immune deficiency syndrome (AIDS), i.e., virus-induced AIDS, the im-munological dysfunctions of NAIDS can generally be reversed quickly by correcting the nutritional problems that allowed NAIDS to develop in the first place. Emergence of nutritional immunology as a new scientific subdiscipline of vast public health and clinical importance naturally raises questions about its historic origins (1, 2), which are linked closely to scientific findings in both parent sciences.
untuk mendapatkan data lengkapnya, silahkan download disini
 
 

JURNAL KESEHATAN SURYA MEDIKAYOGYAKARTA
PENGARUH TERAPI BERMAIN TERHADAP TINGKAT KOOPERATIF

SELAMA MENJALANI PERAWATAN PADA ANAK USIA
PRA SEKOLAH (3 –5 TAHUN) DI RUMAH SAKIT PANTI RAPIH YOGYAKARTA

Banyak kasus yang menyebabkan anak-anak harus menjalani rawat inap di rumah sakit, diantaranya adalah data dari Dinkes Kabupaten Sikka menyebutkan jumlah balita yang kekurangan gizi tercatat sebanyak 7. 456 orang, terdiri dari gizi buruk sebanyak 456 orang dan gizi kurang sebanyak 7.000 balita.

Bermain dapat menjadi bahasa yang paling universal, meskipun tidak pernah dimasukkan sebagai salah satu dari ribuan bahasa yangada di dunia. Melalui bermain, anak-anak dapat mengekspresikan apapun yang mereka inginkan.Bermain juga menjadi media terapi yang baik bagi anak-anak bermasalahselain berguna untuk mengembangkan potensi anak. Menurut Nasution (cit Martin, 2008), bermainadalah pekerjaan atau aktivitas anak yang sangat penting. Melalui bermain akan semakin mengembangkan kemampuan dan keterampilan motorik anak, kemampuan kognitifnya, melalui kontak dengan dunia nyata, menjadi eksis di lingkungannya, menjadi percaya diri, dan masih banyak lagi manfaat lainnya (Martin, 2008).

Banyak anak menolak diajak ke rumah sakit, apalagi menjalani rawat inap dalam jangka waktu yang lama. Peralatan medis yang terlihat bersih dirasakan cukup menyeramkan bagi anak-anak. Begitu juga dengan bau obat yang menyengat dan penampilan para staf rumah sakit dengan baju putihnya yang terkesan angker Untuk mengurangi ketakutan anak yang harus mengalami rawat inap di rumah sakit dapat dilakukan beberapa cara salah satunya adalah melakukan permainan dokter-dokteran dengan membiarkan anak bereksplorasi dengan alat-alat kedokteran, seperti jarum suntik dan stetoskop. Anak berperan menjadi dokter, sementara anak lain atau orang tua menjadi pasiennya (Imam, 2008).
untuk data selengkapnya, silahkan download disini
HUBUNGAN STATUS GIZI DAN PEMBERIAN ASI PADA BALITA 
TERHADAP KEJADIAN PNEUMONIA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS AMBACANG
KECAMATAN KURANJI PADANG TAHUN 2011
 

Infeksi masih merupakan masalah kesehatan di dunia, terutama di negara berkembang. Penyakit infeksi masih merupakan penyebab kematian utama, terutama pada anak di bawah usia 5 tahun, akan tetapi anak–anak meninggal karena infeksi, biasanya didahului oleh keadaan gizi yang kurang baik. Rendahnya daya tahan tubuh akibat gizi buruk memudahkan dan mempercepat berkembangnya bibit penyakit dalam tubuh (Moehji,2003). Salah satu penyakit infeksi tersebut adalah infeksi saluran pernafasan Pneumonia yang saat ini 20%-30% kematian bayi dan balita disebabkan oleh penyakit ini. Pneumonia merupakan proses radang akut pada jaringan paru(alveoli) akibat infeksi kuman yang menyebabkan gangguan pernapasan. Pneumonia berbahaya karena dapat menyebabkan kematian, karena paru-paru tidak dapat menjalankan fungsinya untuk  mendapatkan oksigen bagi tubuh. Menurut Departement Kesehatan Republik Indonesia, (Depkes RI 2007). Bakteri patogen penyebab pneumonia, yaitu streptococcus pneumoniae, menyerang anak-anak usia dibawah 5tahun yang sistem kekebalan alaminya lemah dan mengakibatkan infeksi pada sistem saluran pernafasan (Kartasasmita, 2007).
untuk mendapatkan data selengkapnya, silahkan download disini

Minggu, 05 Januari 2014

OPTMALISASI PERKEMBANGAN ANAK USIA DINI MELALUI KEGIATAN PENYULUHAN DETEKSI DINI TUMBUH KEMBANG ANAK

 

Oleh: Vina Adriany
 
         Perkembangan anak usia dini memegang peranan yang sangat penting dalam perkembangan seorang individu. Agar seorang anak memiliki perkembangan yang baik, maka perlu ada deteksi dini tumbuh kembang anak yang memiliki tujuan tercapainya optimalisasi perkembangan seorang anak. Sangat disayangkan masih sedikit orang tua yang m emiliki kesadaran untuk melakukan deteksi dini tumbuh kembang anak ini, seperti orang tua di kecamatan Cisarua, kabupaten Bandung. Melalui metode penyuluhan tentang deteksi dini tumbuh kembang anak oran tua diharapkan orang tua memiliki kesadaran dan keahlian dalam melakukan deteksi dini tumbuh kembang anak. Hasil dari kegiatan ini menunjukkan bahwa pasca penyuluhan, orang tua memiliki kesadaran yang lebih baik tentang pentingya melakukan deteksi dini tumbuh kembang anak sebagai upaya optimalisasi perkembangan anak.

untuk data selengkapnya, silahkan download disini

Sabtu, 04 Januari 2014

POLA KONSUMSI BUAH DAN SAYUR SERTA ASUPAN ZAT GIZI MIKRO DAN SERAT PADA IBU HAMIL DI KABUPATEN GOWA 2013

 
Pattern of Consumption Fruit and Vegetable and Intake of Mikronurient and Fiber in Pregnant Women in Kabupaten Gowa 2013
 
Sriwahyun, Rahayu Indriasari, Abdul Salam
 
         Perubahan paradigma menuju pada pemahaman bahwa untuk hidup sehat tubuh kita tidak saja memerlukan protein dan kalori, tetapi juga vitamin dan mineral dann serat yang kaya terkandung dalam sayur-sayuran dan buah-buahan dalam pola konsumsi gizi seimbang yang berkembang pada tahun 1990-an. Tujuan penitian ini adalah untuk mengetahui pola konsumsi buah dan sayur serta asupan zat gizi mikro dan serat pada ibu hamil di Kabupaten Gowa Tahun 2013. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian observasional dengan rancangan Cross sectional study. Pengambilan sampel dilakukan secara random sampling dengan jumlah sampel 66 responden ibu hamil. Pengumpulan data dilakukan dengan pengambilan data primer dan sekunder. Analisis data dilakukan dengan menggunakan analisis Nutrisurvey dan Nutriclin. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa frekuensi konsumsi buah dan sayur pada ibu hamil termasuk dalam kategori jarang sedangkan jumlah konsumsi buah dan sayur pada ibu hamil termasuk dalam kategori cukup. Asupan vitamin A dan vitamin C ibu hamil cukup namun asupan vitamin B1 dan asam folat kurang. Asupan mineral (Fe, Zink, dan Kalsium) ibu hamil masih kurang. Asupan serat ibu hamil masih kurang. Untuk itu disarankan sebaiknya ibu hamil lebih memperhatikan lagi asupan makanan yang dikonsumsi khususnya buah dan sayur untuk memenuhi asupan vitamin mineral serta serat demi kesehatan ibu hamil dan janinnya.

untuk data selengkapnya, silahkan download disini